Senin, 02 Mei 2011

Mari Kita Berhenti Sejenak

Mari kita berhenti sejenak disini!
Kita sudah relatif jauh berjalan bersama dalam kereta dakwah. Banyak yang sudah kita lihat dan kita raih. Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan: rintangan yang menghambat laju kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh yang memekakkan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi kosong yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang lain, dan masih banyak lagi!

Jadi mari kita berhenti sejenak disini!
Kita memerlukan saat-saat itu; saat dimana kita melepaskan kepenatan yang mengurangi ketajaman hati, saat dimana kita membebaskan diri dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, saat dimana kita melepaskan sejenak beban dakwah yang selama ini kita pikul yang mungkin menguras stamina kita. Kita memerlukan saat-saat seperti itu karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan dakwah kita; melihat-lihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan yang masih harus kita lalui; menengok kembali hasil-hasil yang telah kita raih; meneliti rintangan yang mungkin menghambat laju pertumbuhan dakwah kita; memandang ke alam sekitar karena banyak aspek dari lingkungan strategis kita telah berubah.

Sesungguhnya bukan hanya kita yang perlu berhenti. Para pelaku bisnis pun punya kebiasaan itu. Orang-orang yang mengurus dunia itu memerlukannya untuk menata ulang bisnis mereka. Mereka menyebutnya penghentian. Tapi sahabat-sahabat Rasulullah SAW   generasi pertama yang telah mengukir kemenangan-kemenangan dakwah dan karenanya berhak meletakkan kaidah-kaidah dakwah   menyebutnya majelis iman. Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak".

Majelis iman kita butuhkan untuk dua keperluan.
Pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Yang ingin kita capai dari upaya ini adalah memperbaharui dan mempertajam orientasi kita; melakukan penyelarasan dan penyeimbangan berkesinambungan antara kapasitas internal dkwah, peluang yang disediakan lingkungan eksternal, dan target-target yang dapat kita raih.
Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah. Yang ingin kita raih adalah memperbarui komitmen dan janji setia kita kepada Allah SWT. Bahwa kita akan tetap teguh memegang janji itu; bahwa kita akan tetap setia memikul beban amanah dakwah ini; bahwa kita akan tetap tegar menghadapi semua tantangan; bahwa yang kita harap dari semua ini hanyalah ridho-Nya. Hari-hari panjang yang kita lalui bersama dakwah ini menguras seluruh energi jiwa yang kita miliki, maka majelis iman adalah tempat kita berhenti sejenak untuk mengisi hati dengan energi yang tercipta dari kesadaran baru, semangat baru, tekad baru, dan keberanian baru.

Karena itu majelis iman harus menjadi tradisi yang semakin kita butuhkan ketika perjalanan dakwah sudah semakin jauh. Pertama, karena tahap demi tahap dari keseluruhan marhalab yang kita tetapkan dalam grand strategy dakwah perlahan-lahan kita lalui. Mulai dari perekrutan dan pengaderan qiyadah serta junud dakwah yang kita siapkan untuk memimpin umat untuk bangkit, sampai akhirnya kita membentuk partai sebagai wadah untuk mempresentasikan dakwah ditingkat institusi. Kedua, karena kita hidup di sebuah masa dengan karakter yang tidak stabil. Perubahan-perubahan besar di lingungan strategis berlansung dalam durasi dan tempo yag sangat cepat. Dan perubahan-perubahan itu selalu menyediakan peluang dan tantangan yang sama besarnya. Dan, apa yang dituntut dari kita adalah melakukan pengadaptasian, penyelarasan, penyeimbangan, dan pada waktu yang sama meningkatkan kemampuan untuk memanfaatkan momentum. Ketiga, karen kita mengalami seleksi dari Allah SWT secara kontinyu sehingga banyak daun yang berguguran, juga banyak yang berjalan tetatih-tatih.

Semua itu membutuhkan perenungan yang dalam. Maka, dalam majelis iman ini, kita mengukuhan sebuah wacana bagi proses pencerahan pikiran, penguatan kesadaran, penjernihn jiwa, pembaruan niat, dan semangat jihad. Dan inilah yang dibutuhan oleh dakwah kita saat ini.

Tradisi penghentian atau majelis iman semacam ini baru kita lakukan dalam dua tingkatan; individu atau jama'ah. Pada tingkatan individu, tradisi ini dikukuhkan melalui kebiasaan merenungi, menghayati, dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif, matang, dan aktual di samping kebiasaan muhasabah, memperbarui niat, menguatkan kesadaran dan motivasi, serta memelihara kesinambungan semangat jihad. Hasil-hasil inilah yang kemudian kita bawa ke dalam majelis iman untuk kita bagi kepada yang lain sehingga  akal individu melebur dalam akal kolektif, dan  kreativitas individu menjelma menjadi kreativitas kolektif.

Kalau ada pemaknaan yang aplikatif terhadap hakikat kekhusyukan yang disebutkan Al-Quran, maka ini salah satunya. Penghentian seperti inilah yang mewariskan kemampuan berpikir strategis, penghayatan emosional yang menyatu secara kuat dengan kesadaran dan keterarahan yang senantiasa terjaga di sepanjang jalan dakwah yang berliku dan curam. Maka, Allah SWT mengatakan, "Belumkah datang saat bagi orang-orang beriman untuk mengkhusyukkan hati dala mengingat Allah dan dalam (mejalankan) kebenaran yang diturunkan. Dan bahwa hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Alkitab sebelumnya (dimana) ketika jarak antara mereka (dengan sang rasul) tlah jauh, maka hati-hati mereka jadi keras, dan banyak dari mereka jadi fasik." (Q.S. Al-Hadid: 16)

Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah SAW menyunnahkan umatnya melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan; atau mengapa Allah SWT menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah SAW tiga tahun sebelum diangkat menjadi Rasul; atau bahkan mengapa Umar bin Khattab mempunyai kebiasaan i'tikaf di Masjidil Haram sekali sepekan di masa jahiliyahnya. Begitu pula akhirnya kita memahami mengapa majelis-majelis kecil para sahabat Raslullah SAW di mesjid atau di rumah-rumah berubah menjadi wacana yang melahirkan gagasan-gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad. Maka ucapan mereka, kata Ali bin Abi Thalib, adalah zikir dan diam mereka adalah perenungan.

Tradisi inilah yang hilang di antara kita sehingga diam kita berubah menjadi imajinasi yang iar, ucapan kita kehilangan arah dan makna. Maka, dakwah kehilangan semua yang ia butuhkan; pikiran-pikiran baru yang matang dan brilian, kesadaran yang senantiasa melahirkan kepekaan, dan semangat jihad yang tak pernah padam di sepanjang jalan dakwah ang jauh dan berliku ini.





Dikutip dari buku "Menikmati Demokrasi" karya M Anis Matta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar