Rabu, 15 Juni 2011

Surat Cinta Untuk Ayah


Mungkin ini adalah surat cintaku yang pertama kepadamu, yah.
            Selama ini semua kagum dan rasa terima kasih, hanya terucap di dalam hati dan curhatanku kepada Rabbi.
            Tahukah kau, yah, bahwa kau selalu menjadi pahlawan pertamaku.
            Aku banyak belajar dari diammu.
            Kepemimpinanmu di rumah, selalu menjadi hal yang luar biasa bagiku.
            Masih teringat dengan sangat jelas, ketika ada permasalahan sekecil apapun, kau selalu mengumpulkan kami di ruang makan, lalu berbicara dengan penuh wibawa, memberi penjelasan dengan bersahaja, lalu memberikan nasehat penuh makna. Keren sekali waktu itu, yah.
            Ayah, aku memang lebih kaku kepadamu jika dibandingkan dengan keakrabanku kepada Ibu. Tapi aku selalu ingin sepertimu; melakukan pekerjaan layaknya cara-caramu, wibawa, keberanian, kesholehan, ketulusan, dedikasi, dan semua tentangmu, yah.
            Aku sangat senang dengan caramu mendidikku, yah. Karena kau memberikanku kebebasan dalam memilih, agar aku bisa belajar makna tanggung jawab dengan benar seutuhnya. Sehingga aku beranjak dewasa dengan lebih cepat dibandingkan teman-temanku yang lain yang dibatasi pergerakannya oleh orang tua mereka.
            Semenjak kecil aku sangat jarang menangis kecuali di sujud dan percakapanku dengan_Nya. Walau dengan sakit dan perih, aku tidak menangis, yah. Karena aku tidak pernah ingin terlihat cengeng di depanmu. Tapi ada satu hal yang membuatku tidak dapat menahan air mata ini, yaitu kemarahanmu, yah. Mungkin bagi orang lain itu adalah hal biasa, karena laki-laki memang sering berbicara dengan nada tinggi. Tapi aku sangat mengenalmu, yah. Aku tahu betul perubahan emosimu. Karena biasanya marahmu terpendam dalam diam dan dilontarkan dengan nasehat-nasehat bermakna. Walaupun begitu yah, aku bersyukur pernh melihatmu seperti itu. Sehingga aku makin paham atas besarnya kasih sayangmu kepadaku.
            Ayah, aku senang orang-orang mengatakan bahwa aku mirip denganmu. Karena aku memang ingin seperti itu.
            Ayah tidak pernah mengatakan “tidak” atas permintaan-permintaanku. Apakah karena aku putri ayah satu-satunya? Waktu itu ayah menjawab, bahwa aku tidak pernah meminta apa-apa yang memberatkan ayah. Lagipula semua permintaanku itu memang sudah sepatutnya aku dapatkan. Benarkah itu yah? Atau itu hanya sekedar jawaban agar aku tetap merasa baik-baik saja? Aku bukan ingin tidak percaya kepadamu yah, aku hanya takut keinginan kita sama, sehingga tiada tertemu solusi terbaik atas ingin ini, yaitu tidak ingin mengecewakan dan memberatkanmu.
            Ayah, kau memang yang terbaik.
            Ketika aku bertanya tentang hal yang ingin ayah lihat dari pencapaianku, Ayah hanya menjawab, bahwa ayah ingin melihatku bahagia atas pencapaianku. Hanya itu yang ayah inginkan dariku. Cukupkah itu bagimu, yah? Terfikir olehku atas perjuanganmu untuk memenuhi keterbutuhan kami, keluargamu. Tak terdengar keluh sedikitpun. Karenanya hal itu terpatri di hatiku, yah. Hingga akhirnya aku tak ingin mengeluh, agar aku bisa mendekatimu.
            Mungkin karena diammu. Sehingga semua tutur bahasamu menjadi istimewa terdengar olehku, sesederhana apapun itu.
            Ini salah satu pesan ayah kepadaku: “jangan cengeng meski kau seorang wanita, jadilah selalu bidadari kecilku dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak! Laki-laki yang bisa melindungimu melebihi perlindungan ayah, tapi jangan pernah kau gantikan posisi ayah di hatimu.”. Kira-kira seperti itulah nasehat yang tersampaikan kepadaku.
            Aku tidak pernah melihat ayah menangis. Tapi sering aku mendengar sesengukan tangis ayah dalam sujud kepada_Nya, sering ibu bercerita bahwa ayah menangis di kamar di malam hari, karena merasa rindu dengan kami di rantau. Ayah memang tidak pernah mendekapku dalam pelukan ayah ketika aku hendak pergi jauh. Ibu bilang, ayah tidak sanggup melakukannya karena takut tertetes air mata ayah ketika akan melepasku.
            Ayah hebat.
            Aku ingin bercerita lebih banyak kepadamu yah. Walau terasa sepi percakapan kita. Tapi bahasa percakapan kita berbeda, dan hanya kita yang dapat memahamkannya. Karena itu yah, aku tertular akan diam ayah. Aku lebih suka membahasakan sesuatu dengan diamku. Walau banyak orang yang tidak mengerti, tidak masalah.
            Ayah tenang saja, ada tempat khusus di hati ini untukmu, yah.



            Walau terkesan kaku, tapi aku sangat sayang kepada ayah. Aku mencintai ayah karena Allah. Aku sungguh mencintai ayah…

1 komentar: